LEGALITAS HUKUM TERHADAP STATUS PERKAWINAN ANTARA SUKU MELAYU BERAGAMA ISLAM DAN SUKU DAYAK BERAGAMA KATOLIK DI DESA KERANJI PAIDANG KECAMATAN SENGAH TEMILA KABUPATEN LANDAK DALAM PERSPEKTIF HUKUM DI INDONESIA

Perkawinan di Indonesia masih banyak yang dilakukan secara adat agama dan budaya. Di dalam adat itu sendiri tidak lepas dari agama yang dianut oleh pemeluknya. Orang Islam melakukan pernikahan secara Islam, Pernikahan antara kedua mempelai dengan kesukuan yang berbeda dapat dilaksanakan tanpa hambatan, yang artinya hanya dilakukan nikah adat tanpa pemberkatan digereja atau ke kantor urusan agama (KUA) tetapi hanya meminta kepada ketua adat di daerah resebut. Contoh dari kasus tersebut Ada Di Desa Keranji Paidang Kecamatan Pahuman Kabupaten Landak yaitu pernikahan antara suku Melayu dan Dayak. Legalitas dari pernikahan baik secara hukum agama maupun hukum negara menjadi hal yang menarik untuk dilihat lebih jauh, berhubung pernikahan antar suku denagn komposisi seperti ini kerap terjadi disana.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode normatif dengan mengumpulkan data-data primer berupa wawancara. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian normatif-empiris ini juga mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya disetiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat, dengan pendekatan perundang-undangan adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus sentral suatu penelitian dan pendekatan konseptual yakni mengkaji pandanganpandangan doktrin hukum yang berkembang didalam ilmu hukum, dan pendekatan kasus, dalam penelitian normatif mempunyai tujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum.
Hasil analisis dari penelitian tersebut adalah Legalitas Hukum Terhadap Status Hukum Perkawinan Antara Suku Melayu Dan Suku Dayak di Desa Keranji Paidang, Kecamatan Pahuman, Kabupaten Landak dalam perspektif hukum di Indonesia tidak legal menurut hukum karena tidak terdaftar di Kantor Urusan Agama (KUA) ataupun Dukcapil. Proses legalitas dari perkawinan secara adat juga harus sesuai dengan Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2019 yang menyatakan dalam setiap perkawinan harus dibutuhkan pencatatan dalam akta perkawinan. Akta perkawinan ini sebagai bukti bahwa perkawinan ini telah sah dilaksanakan secara agama dan kepercayaan.